PDM Kabupaten Lamongan - Persyarikatan Muhammadiyah

 PDM Kabupaten Lamongan
.: Home > Artikel

Homepage

Gerakan Sosial (“RANSEL PUSTAKA”) Perlu Dukungan Gerakan Individual (“Keteladanan”)?

.: Home > Artikel > PDM
28 Juli 2017 21:28 WIB
Dibaca: 1440
Penulis : Hernowo Hasim

Minggu 23 Juli lalu saya berada di Lamongan, Jawa Timur. Di kota Lamongan ada sebuah kawasan yang di kawasan itu terdapat tempat beribadah yang sangat indah bernama Masjid Namira. Saya bersyukur dapat berkunjung ke masjid tersebut dan merasakan suasana keindahan dan kenyamanan yang dibangun oleh ketenaran Masjid Namira. Memang, tempatnya dirancang sedemikian nyaman untuk para pengunjung. Masjidnya sendiri pun tampak eksotis dan meneduhkan.
 
Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) Lamongan mengundang saya untuk menyemarakkan gerakan sosial literasi “Ransel Pustaka”. Saya juga diminta berbicara dan berdialog dengan para anggota IPM dalam sebuah seminar tentang gerakan literasi. Saya kaget karena yang hadir sangat banyak. Hadirin memadati aula gedung STKIES Muhammadiyah sebagai tempat acara. Mereka, yang hadir dalam acara tersebut, masih sangat muda, sangat energik, dan—ini yang menarik—sangat berpotensi.
 
Kebetulan “Quantum Writing” merupakan materi yang saya presentasikan dalam acara seminar literasi tersebut. Saya menegaskan di awal acara bahwa makna kuantum sesungguhnya adalah membangkitkan potensi. Artinya konsep kuantum yang dikembangkan oleh buku Quantum Learning (yang menjadi basis pembuatan buku Quantum Writing) meyakini tentang sangat berpotensinya setiap anak muda. Dalam “Quantum Writing” sendiri, saya menunjukkan secara jelas bahwa siapa pun memiliki potensi menulis (dan juga membaca).
 
Apa syarat-syarat agar potensi menulis itu dapat diledakkan (dikembangkan)? Dan bagaimana caranya? Dalam presentasi, saya kemudian memberikan contoh dan membahas secara detail apa saja syarat-syarat dan cara-cara meledakkan potensi menulis tersebut. Acara yang saya ikuti ternyata tak hanya seminar tentang literasi. IPM juga meluncurkan program “Ransel Pustaka” sebagai simbol gerakan sosial IPM dalam ikut mendukung dan menggalakkan gerakan literasi sekolah. 
 
Di akhir acara seminar, saya pun diminta untuk memberi saran bagaimana mengefektifkan gerakan sosial IPM yang bernama “Ransel Pustaka” itu. Saya kemudian mengambil hikmah film Sang Pencerah yang mengisahkan keteladanan K.H. Ahmad Dahlan dalam melakukan berbagai pembaruan keagamaan. Sebagaimana kita ketahui—lewat film tersebut—K.H. Ahmad Dahlan melakukan pembaruan keagamaan mula-mula secara individual—dilakukan secara mandiri.
 
Jadi, gerakan sosial itu baru akan efektif jika didahului dengan gerakan individual para anggota IPM yang akhirnya gerakan individual itu menciptakan teladan-teladan berliterasi di lingkungan kecilnya. Saya katakan jika gerakan sosial itu hanya dicanangkan dan kemudian dirumuskan serta dibicarakan saja dalam seminar maupun rapat-rapat, maka dampaknya akan tidak ada alias nol besar.
 
IPM harus mampu mendorong setiap anggotanya untuk melakukan gerakan individual berliterasi di lingkungan terkecilnya. Lingkungan yang paling dekat adalah lingkungan keluarga dan tetangga. Setiap anggota IPM harus dapat mentransformasi dirinya sebagai teladan membaca dan menulis bagi saudara-saudara kandung (kakak atau adik), kedua orangtua, dan tetangga dekatnya. Setelah keluarga dan tetangga, barulah gerakan individual itu dilebarkan ke lingkungan sekolah.
 
Bagaimana mewujudkan gerakan individual berliterasi itu? Saya pun kemudian mendemonstrasikan kegiatan mengikat makna yang saya lakukan setiap hari di rumah. Apa yang saya lakukan ini saya tunjukkan secara demonstratif kepada anggota keluarga saya. Mereka—istri dan anak-anak saya—melihat dan merasakan secara langsung apa yang saya lakukan. Pertama, setiap hari saya membaca ngemil sederetan teks yang tersedia dan mudah diakses di rumah kira-kira selama 15-20 menit.
 
Teks yang saya baca pun beragam. Teks itu bisa berupa koran pagi Kompas atau majalah Tempo atau juga sebuah buku. Setiap hari saya membaca ngemil satu artikel di koran/majalah atau sekitar 5-7 halaman yang ada di sebuah buku. Setelah membaca ngemil, saya kemudian mengambil laptop dan menuliskan hasil membaca saya. Oh ya, sewaktu membaca ngemil, saya sesekali melantangkan suara bacaan saya (reading aloud).
 
Kedua, cara saya mengikat makna (menuliskan hasil membaca saya) juga tidak terlalu banyak. Apa yang saya tulis (ikat) setelah membaca? Apa pun yang saya peroleh dari membaca itu. Saya menulis secara bebas (free writing). Bentuk yang saya tulis (ikat) itu dapat berupa PENGALAMAN MEMBACA saja (teksnya sulit/berat atau ringan/mudah dibaca), PEMAHAMAN ATAS YANG SAYA BACA (saya merumuskan pendapat saya atas teks yang saya baca), atau PEMEROLEHAN GAGASAN DARI MEMBACA. Tulisan yang saya hasilkan pun hanya sekitar 500 hingga 700 kata (words) saja.
 
Ketiga, meski hanya membaca sedikit (ngemil), tetapi saya melakukannya secara berdisiplin, kontinu, dan konsisten. Untuk menjadi teladan membaca (dan menulis), seseorang memang tak mungkin hanya melakukan membaca dan menulis sesekali. Dia perlu melakukannya secara berdisiplin, kontinu (tidak putus-putus atau jika ada mood saja), dan kosnisten (istiqamah). Selamat menjadi teladan-teladan membaca dan menulis bagi lingkungan terdekat Anda. Semoga bermanfaat.[]

Tags:

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website