PDM Kabupaten Lamongan - Persyarikatan Muhammadiyah

 PDM Kabupaten Lamongan
.: Home > Artikel

Homepage

WARISAN SPIRITUAL DAN INTELEKTUAL KH AHMAD DAHLAN

.: Home > Artikel > PDM
18 Januari 2018 19:36 WIB
Dibaca: 2514
Penulis : M Husnaini

 
 
Pulang dari memberikan pelatihan menulis buku untuk puluhan dosen dan mahasiswa di Universitas Aisyiyah Yogyakarta beberapa waktu lalu, saya menerima hadiah beberapa literatur penting mengenai Persyarikatan Muhammadiyah dan amal usahanya.
 
Yang baru kelar saya baca adalah dua buku tentang pendiri Muhammadiyah, yaitu "Pelajaran KHA Dahlan: 7 Falsafah Ajaran & 17 Kelompok Ayat Al-Quran" dan "Kyai Haji Ahmad Dahlan: Pemikiran & Kepemimpinannya", diberikan kepada saya oleh penyuntingnya, Arief Budiman Ch.
 
Kedua buku mini dengan tebal masing-masing tidak sampai 200 halaman ini adalah sumber pokok mengenai riwayat hidup dan kiprah perjuangan Sang Pencerah. Buku pertama ditulis oleh KRH Hadjid, murid Kiai Dahlan yang paling muda. Buku kedua ditulis oleh akademisi senior Muhammadiyah, M Yusron Asrofie.
 
Membaca kedua buku ini, kita akan mendapati Kiai Dahlan sebagai ulama dalam arti sesungguhnya. Selain dikaruniai otak yang cerdas sehingga mampu memahami kitab-kitab yang sukar, keistimewaan Kiai Dahlan adalah memiliki rasa takut yang luar biasa terhadap kematian dan balasan sesudahnya.
 
Fatwa yang sering disampaikan Kiai Dahlan, sebagaimana dikutip KRH Hadjid, "Kita, manusia ini, hidup di dunia hanya sekali, untuk bertaruh: sesudah mati, akan mendapat kebahagiaankah atau kesengsaraankah?" Di lain kesempatan, Kiai Dahlan memberikan peringatan, "Bermacam-macam corak ragamnya mereka mengajukan pertanyaan soal-soal agama. Tetapi tidak ada satu pun yang mengajukan pertanyaan demikian: Harus bagaimanakah supaya diriku selamat dari api neraka? Harus mengerjakan perintah apa? Beramal apa? Menjauhi dan meninggalkan apa?"
 
Saking takutnya terhadap hari pembalasan, Kiai Dahlan sampai menulis peringatan berbahasa Arab untuk dirinya sendiri di dekat meja tulis pribadinya, yang artinya, "Hai Dahlan, sungguh bahaya yang menyusahkan itu terlalu besar, demikian pula perkara-perkara yang mengejutkan di depanmu, dan pasti kau akan menemui kenyataan demikian itu. Ada kalanya kau selamat, tetapi juga mungkin tewas menemui bahaya. Hai Dahlan, coba bayangkanlah seolah-olah badanmu sendiri hanya berhadapan dengan Allah saja, dan di hadapanmu ada bahaya maut, peradilan, hisab, atau pemeriksaan, surga dan neraka. (Hitungan yang akhir itulah yang menentukan nasibmu). Dan, pikirkanlah, renungkanlah apa-apa yang mendekati kau daripada sesuatu yang ada di mukamu (bahaya maut) dan tinggalkanlah selainnya itu."
 
Perenungan-perenungan semacam itulah yang kemudian mendorong Kiai Dahlan memperbanyak amal kebaikan untuk kemaslahatan umat. Sebagaimana ditegaskan M Yusron Asrofie, Kiai Dahlan banyak mengerjakan perintah yang mempunyai akibat sosial, seperti pengorbanan harta, pemeliharaan anak-anak yatim, dan juga penampungan orang-orang miskin.
 
Kiai Dahlan mengartikan orang beragama sebagai orang yang melahirkan amal. Orang beragama, kata Kiai Dahlan, ialah "orang yang jiwanya menghadap kepada Allah dan berpaling dari yang lainnya. Bersih tidak dipengaruhi oleh lain-lainnya, hanya tertuju kepada Allah, tidak tertawan kebendaan dan harta benda. Sikap ini dapat dibuktikan dan dilihat dengan kesadaran menyerahkan harta benda dan dirinya kepada Allah."
 
Karena itu, dalam mempelajari Al-Quran, Kiai Dahlan biasa mengambil beberapa ayat lalu dibaca dengan tartil dan ditadaburi: Bagaimana artinya? Bagaimana tafsir keterangannya? Bagaimana maksudnya? Apakah ini larangan dan apakah sudah meninggalkan larangan? Apakah ini perintah yang wajib dikerjakan dan apakah sudah mengerjakan? Bila belum dapat menjalankan, tidak perlu membaca ayat-ayat lainnya.
 
Pemikiran keagamaan Kiai Dahlan ini sangat penting dikemukakan, terutama di era media sosial seperti sekarang. Masih banyak persoalan krusial yang menanti uluran tangan kita, seperti praktik korupsi yang merajalela, peredaran narkoba yang merebak, kesenjangan ekonomi yang menganga, budaya membaca yang rendah, hingga buta huruf Al-Quran yang belum juga teratasi secara sempurna, dan aneka rupa ketertinggalan umat Islam di banyak bidang.
 
Keberagamaan model praksis-fungsional sebagaimana dicontohkan Kiai Dahlan, menurut saya, lebih aktif dan produktif ketimbang beragama dengan selalu meributkan bumi ini bulat atau datar, berobat dengan meminum air kencing unta itu sunah atau bidah, mendirikan khilafah itu wajib atau bukan, manusia pertama itu Nabi Adam atau Meganthropus, dan sejumlah perdebatan tidak penting lainnya yang kerap mengatasnamakan Islam.
 
 
 
M Husnaini, Ketua MPI PCM Solokuro Lamongan, pendiri komunitas Sahabat Pena Nusantara, hus_surya06@yahoo.co.id

Tags: WarisanSpiiritual , WarisanIntelektual , KHADahlan , M.Husnaini
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori : Resensi Buku

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website